Khitbah & Faktor-faktor di dalamnya

1:25 AM

A. Makna Dan Hukum Meminang

Al-Khitbah  dengan dikasrah 'kho"nya berarti pendahuluan "ikatan pernikahan"
yang maknanya permintaan seorang laki-laki pada wanita untuk dinikahi. Dan
hal ini pada umumnya ada pada laki-laki. Maka yang memulai disebut
"khoothoban” (yang meminang) sedang yang lain disebut "makhthuuban” (yang
dipina ng).

Meminang itu sunnah sebelum akad nikah, karena Nabi Muhammad
shalallahu
‘alaihi wa sallam  meminang untuk dirinya dan untuk yang lain. Dan tujuan
meminang yaitu : mengetahui pendapat yang dipinang, apakah ada setuju atau
tidak. Demikian juga untuk mengetahui pendapat walinya.

Meminang itu akan mengungkap keadaan, sikap wanita itu dan keluarganya.
Dimana kecocokan dua unsur ini dituntut sebelum akad nikah, dan Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam  telah melarang menikahi seorang wanita kecuali
dengan izin wanita tersebut, sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhori dan
Muslim dari Abu Hurairah  Radhiyallahu ‘anhu  berkata: telah bersabda Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam  : 
“ Tidak dinikahi seorang janda kecuali sampai dia minta dan tidak dinikahi seorang gadis
sampai dia mengijinkan (sesuai kemauannya) ,
Mereka bertanya " Ya Rasulullah, bagaimana ijinnya  ? Beliau menjawab ' Jika dia
diam '.

Maka bila janda dikuatkan dengan musyawarahnya dan wali butuh pada
kesepakatan yang terang-terangan untuk menikah. Adapun gadis, wali harus
minta ijinnya, artinya dia dimintai ijin/pertimbangan untuk menikah dan tidak
dibebani dengan jawaban yang terang-terangan untuk menunjukkan
keridhaannya, tetapi cukup dengan diamnya, sungguh dia malu untuk
menjawab dengan terang-terangan. Dan makna ini juga terdapat dalam hadits
'Aisyah  radhiallahu 'anha  bahwa beliau berkata " Ya Rasulullah, sesungguhnya gadis
itu akan malu ", maka beliau bersabda:  Ridhanya ialah diamnya ' (HR Bukhori dan
Muslim)

Akan tetapi hendaknya diyakinkan bahwa diamnya adalah diam ridha, bukan
diam menolak, dan itu harus diketahui oleh walinya dengan melihat kenyataan
dan tanda- tandanya. Dan perkara ini tidak samar lagi bagi wali pada umumnya.

Adapun kesepakatan wali dari pihak wanita itu merupakan perkara yang harus
dan merupakan syarat dalam nikah menurut jumhur ulama karena jelasnya
hadits dari Nabi  shalallahu ‘alaihi wa sallam  yang bersabda :

Tidak ada nikah kecuali dengan wali .”
(HR Ahmad dan Ashhabus Sunan)

Dan jumhur mengambil dalil atas syarat ridhanya wali dengan firman Allah
Subhanahu Wa Ta’ala :

" Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya ” (QS Al-Baqarah : 232)

Artinya : Jangan kau cegah wanita yang tercerai untuk kembali ke pangkuan
suaminya, karena dia lebih berhak untuk ruju' jika memungkinkan secara syariat.
Telah berkata Imam Syafii "Ini ayat yang paling jelas tentang permasalahan wali
dan kalau tidak maka pelarangan wali tidak bermakna".

(Lihat Subulussalaam Syarah Bulughul Maram, Ash-Shan'any, juz 3 hal 130).


B. Memandang Pinangan (Nadzor)

Pada dasarnya di dalam hukum syariat melihat wanita asing bagi lelaki dan
sebaliknya adalah haram. Yang diwajibkan adalah menundukan pandangan dari
yang haram bagi laki-laki maupun wanita, firman Allah Ta'ala (yang artinya) :

”Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman : Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat; Katakanlah
kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak dari padanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara laki-laki mereka, atau putera saudara laki¬-laki mereka, atau putera saudara-
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka
miliki ; atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita, Dan janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu
beruntung"
(Q.S An¬Nuur : 30-31)

Adapun orang yang meminang, memandang gadis yang dipinangnya atau
sebaliknya maka itu boleh, bahkan itu dianjurkan. Akan tetapi dengan syarat
berniat untuk mengkhitbah. Hadits-hadits tentang ini banyak sekali.
Adapun dalam hadits Shahih Muslim dari Abu Hurairah  Radhiyallahu ‘anhu 
bahwa Nabi  shalallahu ‘alaihi wa sallam  telah berkata pada seseorang yang akan
menikahi wanita :
' Apakah engkau telah melihatnya  ? dia berkata : " Belum ". Beliau bersabda :' Maka
pergilah, lalu lihatlah padanya . "

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Hakim dari Jabir bin Abdullah
Radhiyallahu ‘anhu  : Rasulullah  shalallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda :

Jika salah seorang diantara kalian meminang seorang perempuan dan jika mampu
melihat seorang perempuan dari apa-apa yang mendorong kamu untuk menikahinya
maka kerjakan .”

Orang yang meminang menurut jumhur ulama. Karena wajah cukup untuk
bukti kecantikannya dan dua tangan cukup untuk bukti keindahan/kehalusan
kulit badannya. Adapun yang lebih jauh dari itu kalau dimungkinkan, maka
hendaknya orang yang meminang boleh memandang pinangannya pada telapak
tangan dan wajah saja mengutus ibunya atau saudara perempuannya untuk
menyingkapnya, seperti bau mulutnya, bau ketiaknya dan badannya, serta
keindahan rambutnya.


Dan yang lebih baik orang yang meminang melihat pada yang dipinang sebelum
dia meminang, sehingga jika dia tidak suka padanya, maka dia bisa berpaling
dari perempuan itu tanpa menyakitinya. Dan tidak disyaratkan adanya
keridhaan atau sepengetahuan si wanita itu, bahkan si lelaki itu boleh melihat
tanpa diketahui wanita pinangannya atau ketika dia lalai (diintip) dan itu lebih
utama..

Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani dari Abi Humaid
As-Sa'idi  Radhiyallahu ‘anhu , bahwasanya Nabi  shalallahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda :

Apabila seorang diantara kamu meminang wanita, maka tidak mengapa kamu
melihatnya jika kamu melihatnya untuk dipinang, meskipun wanita itu tidak tahu    ”

Adapun yang menjadi kebiasaan kaum muslimin dalam 'pinangan' yaitu
berdua-berduaan, pergi dan bergadang berdua, maka itu adalah racun karena
mengikuti kebiasaan orang-orang barat yang jelek, yang menyerbu negeri-negeri
muslimin. Alasan mereka yaitu masing¬-masing dari dua orang yang
bertunangan akan bisa saling mempelajari karakter yang lainnya dengan jalan
tersebut dan untuk lebih mengenal agar nanti menjadi pasangan yang ideal dan
bahagia.

Ini adalah sesuatu yang tidak benar berdasarkan kenyataan sebab masing-
masing berpura-pura dihadapan pasangannya dengan apa-¬apa yang tidak ada
padanya, yakni berupa akhlaq yang baik. Dan menampakkan bagi pasangan
apa-apa yang berbeda dari kenyataanya dan tidak menampakkan aslinya kecuali
setelah nikah dimana telah hilang sikap kepura-puraan itu dan terbongkar
hakekat dari masing-masing keduanya. Maka mereka akan ditimpa kekecewaan
yang besar.

Kami tahu berdasarkan pengalaman kami di mahkamah syar’iyyah bahwa
menempuh jalan yang disyari'atkan dan menjaga hukum-hukum syari'at dari
keduanya di semua tahapan-¬tahapan dalam menuju pernikahan, dimulai dari
khitbah sampai dengan malam pengantin merupakan sebab yang menjamin
kebahagiaan rumah tangga bagi keduanya dengan taufiq dan keridhoan Allah
Subhanahu wa ta'ala. Adapun orang yang melakukan
tahapan-tahapan itu dengan kebiasaan orang-orang kafir yang jelek maka
  mereka akan mengalami kegagalan.

C. Sifat-Sifat Yang Dituntut Dalam Meminang Dan Menerima Pinangan

Ketika pemuda dan pemudi menginjak remaja maka mulailah dalam pikirannya
terbetik kriteria-kriteria dan sifat-sifat siapa calon pendampingnya untuk
menjadi isterinya pada suatu hari nanti.

Dan pandangan orang terhadap sifat-sifat itu berbeda-beda, sesuai denga taraf
pendidikannya yang dia tumbuh padanya. Maka sebagian mereka ada yang
membuat kriteria, yang meliputi beberapa syarat seperti bentuk badan tingginya,
warna kulitnya, warna mata. Dan diantara mereka ada yan mensyaratkan dari
sisi hartanya, kekayaannya, nasab dan lain-lain.

Dan semua syarat-syarat ini dalam kenyataannya dituntut dan disukai, juga
tidak dilarang untuk mencari orang yang demikian itu. Akan yang lebih baik
dari itu semuanya adalah agamanya. Dalilnya yang diriwayatkan imam Bukhori
dan Muslim dari Abi Hurairah  Radhiyallahu ‘anhu , dari Nabi  shalallahu ‘alaihi wa
sallam  yang bersabda :

Dinikahi wanita karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya,
maka utamakanlah yang punya agama sehingga kamu akan beruntung .”


Makna "yang memiliki agama" yaitu : wanita yang beragama, shalihah dan
berakhlak baik. Maka hendaknya tujuan meminang adalah memilih wanita yang
punya agama. Adapun bila terkumpul semua sifat-sifat yang lain dari harta,
keturunan dan kecantikan disertai punya agama, maka itu adalah kebaikan di
atas kebaikan. Akan tetapi tidak ada kebaikan pada seseorang yang memiliki
harta atau keturunan, atau kecantikan tanpa punya agama. 

Wanita yang punya kecantikan tanpa agama adalah wanita yang menipu orang
lain dan diri sendiri, dan wanita yang punya harta tanpa agama adalah wanita
yang menindas, lacur atau rakus. Adapun wanita yang punya , keturunan,
pangkat tanpa agama, dia wanita yang sombong. Adapun wanita yang punya
agama ialah wanita yang selalu taat, akhlaknya baik, tawadhu' sekalipun dia
punya kecantikan, kekayaan, pangkat yang tinggi atau keturunan mulia.

Keadaan serta sifat-sifat ini tidak hanya khusus pada wanita saja, bahkan juga
untuk laki-laki. Maka bagi wanita yang dipinang, agar jangan tertipu dengan
kekayaan, ketampanannya, keturunan atau pangkatnya. Bahkan wanita wajib
unluk meneliti terlebih dahulu agamanya, jika lelaki itu termasuk beragama,
shaleh, maka sungguh terkumpul padanya syarat-syarat terpenting, sehingga
jadilah sifat-sifat menempati peringkat kedua.

Sesungguhnya seorang lelaki yang beragama akan menjaga warita dan
memeliharanya, dan akan mempergauli isterinya dengan cara yang baik, akan
bersabar atas kekurangan-kekurangan isteri, dan ini yang terpenting. Maka bila
Iaki-laki itu mencintainya, dia akan memuliakan isterinya, dan jika dia
membencinya, dia tidak akan mendhaliminya meskipun si isteri suka hidup
brrsamanya, dan bila lebih mengutamakan bercerai, maka dia tidak menahannya
untuk menyakitinya, tetapi dia pisah dengan perpisahan yang sebaik-baiknya.

Sesungguhnya kehidupan 'suami - isteri' penuh dengan kesulitan dan tanggung
jawab yang berat serta berhadapan dengan keadaan yang selalu berubah. Jika
rumah tangganya ditegakan karena harta, kemudian hilang hartanya, maka apa
yang terjadi ? dan jika ditegakkan di atas kecantikan atau kedudukan, kemudian
berubah, maka apa yang terjadi ? Tidak diragukan lagi akan terjadi perpecahan
dalam rumah tangga dan akan muncul perselisihan, karena pernikahannya tidak
ditegakkan di atas dasar yang kokoh, tetapi atas syahwat Individu tanpa
pangkal dan landasan yang kuat.

Adapun apabila pernikahan dibangun atas dasar menjaga agama, dimana agama
itu merupakan aqidah yang tetap dan kokoh di hati muslim yang beragama, dia
bangun diatasnya perbuatan dan perkataannya, dan dari dasar Itu dia
bermuamalah dengan yang lainnya. Maka kita tahu, bahwa seorang muslim
yang beragama, baik laki-laki maupun perempuan, dia akan bersyukur pada
Allah Subhanahu wa taala dalam keadaan lapang, dan bersabar dalam keadaan
sempit. Dia akan bergaul atau mensikapi kenyataan dengan iman dan sabar, dan
dia akan saling tolong-menolong dengan isterinya ( teman hidupnya) dengan
penuh amanah dan kegembiraan. 

D. Cinta, Rindu Dan Cemburu

Banyak orang berbicara tentang masalah ini tapi tidak sesuai dengan yang
sebenarnya. Atau tidak menjelaskan batasan-batasan dan maknanya secara syari.
Dan kapan seseorang itu keluar dari batasan-batasan tadi. Dan seakan-akan yang
menghalangi untuk membahas masalah ini adalah salahnya ¬pemahaman
bahwa pembahasan masalah ini berkaitan dengan akhlaq yang rendah dan
berkaitan dengan perzinahan, perkataan yang keji. Dan hal in adalah salah. Tiga
perkara ini adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia yang memotivasi
untuk menjaga dan mendorong kehormatan dan kemuliaannya.

Aku memandang pembicaraan ini yang terpenting adalah batasannya,
penyimpangannya, kebaikannya, dan kejelekannya. Tiga kalimat ini ada dalam
setiap hati manusia, dan mereka memberi makna dari tiga hal ini sesuai dengan
apa yang mereka maknai.

1. Cinta (AI-Hubb)

Cinta yaitu Al-Widaad yakni kecenderungan hati pada yang dicintai, dan itu
termasuk amalan hati, bukan amalan anggota badan/dhahir. Pernikahan itu
tidak akan bahagia dan berfaedah kecuali jika ada cinta dan kasih sayang
diantara suami-isteri. Dan kuncinya kecintaan adalah pandangan. Oleh karena
itu, Rasulullah  shalallahu alaihi wa sallam , menganjurkan pada orang yang
meminang untuk melihat pada yang dipinang agar sampai pada kata sepakat
dan cinta, seperti telah kami jelaskan dalam bab Kedua.

Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasa'i dari Mughirah bin
Su'bah  Radhiyallahu ‘anhu  berkata ;" Aku telah meminang seorang wanita ", lalu
Rasulullah  shalallahu ‘alaihi wa sallam  bertanya kepadaku :” Apakah kamu telah
melihatnya  ?" Aku berkata :" Belum ", maka beliau bersabda : ' Maka lihatlah dia,
karena sesungguhnya hal itu pada akhimya akan lebih menambah kecocokan dan kasih
sayang antara kalian berdua '

Sesungguhnya kami tahu bahwa kebanyakan dari orang-orang, lebih-lebih
pemuda dan pemudi, mereka takut membicarakan masalah "cinta", bahkan
umumnya mereka mengira pembahasan cinta adalah perkara-perkara yang
haram, karena itu mereka merasa menghadapi cinta itu dengan keyakinan dosa
dan mereka mengira diri mereka bermaksiat, bahkan salah seorang diantara
mereka memandang, bila hatinya condong pada seseorang berarti dia telah
berbuat dosa.

Kenyataannya, bahwa di sini banyak sekali kerancuan-kerancuan dalam
pemahaman mereka tentang "cinta" dan apa-apa yang tumbuh dari cinta itu, dari
hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dimana mereka beranggapan bahwa
cinta itu suatu maksiat, karena sesungguhnya dia memahami cinta itu dari apa-
apa yang dia lihat dari lelaki-lelaki rusak dan perempuan-perempuan rusak
yang diantara mereka menegakkan hubungan yang tidak disyariatkan. Mereka
saling duduk, bermalam, saling bercanda, saling menari, dan minum-minum,
bahkan sampai mereka berzina di bawah semboyan cinta. Mereka mengira
bahwa 'cinta' tidak ada lain kecuali yang demikian itu. Padahal sebenarnya tidak
begitu, tetapi justru sebaliknya.

Sesungguhnya kecenderungan seorang lelaki pada wanita dan kecenderungan
wanita pada lelaki itu merupakan syahwat dari syahwat¬-syahwat yang telah
Allah hiaskan pada manusia dalam masalah cinta, Artinya Allah menjadikan di
dalam syahwat apa-apa yang menyebabkan hati laki-laki itu cenderung pada
wanita, sebagaimana firman Allah Ta'ala (yang artinya) :

" Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu : wanita-wanita, anak-anak,...  “,
(Q.S Ali¬-Imran : 14)

Andaikan tidak ada rasa cinta lelaki pada wanita atau sebaliknya, maka tidak
ada pernikahan, tidak ada keturunan dan tidak ada keluarga. Namun, Allah
Ta'ala tidaklah menjadikan lelaki cinta pada wanita atau sebaliknya supaya
menumbuhkan diantara keduanya hubungan yang diharamkan, tetapi untuk
menegakkan hukum-hukum yang disyari'atkan dalam bersuami isteri,
sebagaimana tercantum dalam hadits Ibnu Majah, dari Abdullah bin Abbas
radiyallahu anhuma  berkata : telah bersabda Rasulullah  shalallahu alaihi wa sallam  :

" Tidak terlihat dua orang yang saling mencintai, seperti pemikahan  .”

Dan agar orang-orang Islam menjauhi jalan-jalan yang rusak atau keji, maka
Allah telah menyuruh yang pertama kali agar menundukan pandangan, karena
pandangan' itu kuncinya hati, dan Allah telah haramkan semua sebab-sebab
yang mengantarkan pada Fitnah, dan kekejian, seperti berduaan dengan orang
yang bukan mahramya, bersenggolan, bersalaman, berciuman antara lelaki dan
wanita, karena perkara ini dapat menyebabkan condongnya hati. Maka bila hati

telah condong, dia akan sulit sekali menahan jiwa setelah itu, kecuali yang
dirahmati Allah  Subhanahu wa ta’ala .

Allah lah yang menghiasi bagi manusia untuk cinta pada syahwat ini, maka
manusia mencintainya dengan cinta yang besar, dan sungguh telah tersebut
dalam hadits bahwa Nabi  shalallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda :

" Diberi rasa cinta padaku dari dunia kalian ; wanita dan wangi¬-wangian dan dijadikan
penyejuk mataku dalam sholat

( HR Ahmad, Nasa'i, Hakim dan Baihaqi)

Bahwa Allah tidak akan menyiksa manusia dalam kecenderungan hatinya. Akan
tetapi manusia akan disiksa dengan sebab jika kecenderungan itu diikuti dengan
amalan-amalan yang diharamkan. Contohnya : apabila lelaki dan wanita saling
pandang memandang atau berduaan atau duduk cerita panjang lebar, lalu
cenderunglah hati keduanya dan satu sama lainnya saling mencinta, maka
kecondongan ini tidak akan menyebabkan keduanya disiksanya, karena hal itu
berkaitan dengan hati, sedang manusia tidak bisa untuk menguasai hatinya.
Akan tetapi, keduanya diazab karena yang dia lakukan. Dan karena keduanya
melakukan sebab yang menyampaikan pada 'cinta', seperti telah kami sebutkan.
Dan keduanya akan dimintai tanggungjawab dan akan disiksa juga dari setiap
keharaman yang dia perbuat setelah itu.

Adapun cinta yang murni yang dijaga kehormatannya, maka tidak ada dosa
padanya, bahkan telah disebutkan oleh sebagian ulama seperti Imam Suyuthi,
bahwa orang yang mencintai seseorang lalu menjaga kehormatan dirinya dan
dia menyembunyikan cintanya maka dia diberi pahala, sebagaimana akan
dijelaskan dalam ucapan kami dalam bab 'Rindu'. Dan dalam keadaan yang
mutlak, sesungguhnya yang paling selamat yaitu menjauhi semua sebab-sebab
yang menjerumuskan hati dalam persekutuan cinta, dan mengantarkan pada
bahaya-bahaya yang banyak, namun sangat sedikit mereka yang selamat.

2. Rindu (Al-'Isyq)

Rindu itu ialah cinta yang berlebihan, dan ada rindu yang disertai dengan
menjaga diri dan ada juga yang diikuti dengan kerendahan. Maka rindu tersebut
bukanlah hal yang tercela dan keji secara mutlak. Tetapi bisa jadi orang yang
rindu itu, rindunya disertai dengan menjaga diri dan kesucian, dan kadang-
kadang ada rindu itu disertai kerendahan dan kehinaan.

Sebagaimana telah disebutkan, dalam ucapan kami tentang cinta maka rindu
juga seperti itu, termasuk amalan hati, yang orang tidak mampu menguasainya.
Tapi manusia akan dihisab atas sebab-sebab yang diharamkan dan atas hasil-
hasilnya yang haram. Adapun rindu yang disertai dengan menjaga diri padanya
dan menyembunyikannya dari orang-orang, maka padanya pahala, bahkan Ath-
Thohawi menukil dalam kitab Haasyi'ah Marakil Falah dari Imam Suyuthi yang
mengatakan bahwa termasuk dari golongan syuhada di akhirat ialah orang-
orang yang mati dalam kerinduan dengan tetap menjaga kehormatan diri dan
disembunyikan dari orang-orang meskipun kerinduan itu timbul dari perkara
yang haram sebagaimana pembahasan dalam masalah cinta.

Makna ucapan Suyuthi adalah orang-orang yang memendam kerinduan baik
laki-laki maupun perempuan, dengan tetap menjaga kehormatan dan
menyembunyikan kerinduannya sebab dia tidak mampu untuk mendapatkan
apa yang dirindukannya dan bersabar atasnya sampai mati karena kerinduan
tersebut maka dia mendapatkan pahala syahid di akhirat.

Hal ini tidak aneh jika fahami kesabaran orang ini dalam kerinduan bukan
dalam kefajiran yang mengikuti syahwat dan dia bukan orang yang rendah yang
melecehkan kehormatan manusia bahkan dia adalah seorang yang sabar,
menjaga diri meskipun dalam hatinya ada kekuatan dan ada keterkaitan dengan
yang dirindui, dia tahan kekerasan jiwanya, dia ikat anggota badannya sebab ini
di bawah kekuasaannya. Adapun hatinya dia tidak bisa menguasai maka dia
bersabar atasnya dengan sikap afaf (menjaga diri) dan menyembunyikan
kerinduannya sehingga dengan itu dia mendapa pahala.

3. Cemburu (Al-Ghairah)
Cemburu ialah kebencian seseorang untuk disamai dengan orang lain dalam
hak-haknya, dan itu merupakan salah satu akibat dari buah cinta. Maka tidak
ada cemburu kecuali bagi orang yang mencintai. Dan cemburu itu ternasuk sifat
yang baik dan bagian yang mulia, baik pada laki-laki atau wanita.

Ketika seorang wanita cemburu maka dia akan sangat marah ketika suaminya
berniat kawin dan ini fitrah padanya. Sebab perempuan tidak akan menerima
madunya karena kecemburuannya pada suami, dia senang bila diutamakan,
sebab dia mencintai suaminya. Jika dia tidak mencintai suaminya, dia tidak akan
peduli (lihat pada bab 1). Kita tekankan lagi disini bahwa seorang wanita akan
menolak madunya, tetapi tidak boleh menolak hukum syar'i tentang bolehnya
poligami. Penolakan wanita terhadap madunya karena  gejolak kecemburuan,
adapun penolakan dan pengingkaran terhadap hukum syar'i tidak akan terjadi
kecuali karena kelalaian dan kesesatan.

Adapun wanita yang shalihah, dia akan menerima hukum-hukum syariat
dengan tanpa ragu¬-ragu, dan dia yakin bahwa padanya ada semua kebaikan
dan hikmah. Dia tetap memiliki kecemburuan terhadap suaminya serta
ketidaksenangan terhadap madunya.
Kami katakan kepada wanita-wanita muslimah khususnya, bahwa ada bidadari
yang jelita matanya yang Allah Ta'ala jadikan mereka untuk orang mukmin di
sorga. Maka wanita muslimat tidak boleh mengingkari adanya 'bidadari' ini
untuk orang mukmin atau mengingkari hai-hal tersebut, karena dorongan
cemburu.
Maka kami katakan padanya :
1. Dia tidak tahu apakah dia akan berada bersama suaminya di surga kelak atau
    tidak.
2. Bahwa cemburu tidak ada di surga, seperti yang ada di dunia.
3. Bahwasanya Allah  Subhanahu wa ta’ala  telah mengkhususkan juga bagi wanita
dengan kenikmatan-kenikmatan yang mereka ridlai, meski klta tidak
mengetahui secara rinci.
4. Surqa merupakan tempat yang kenikmatannya belum pernah terlihat oleh
mata, terdengar oleh telinga dan terbetik dalam hati manusia, seperti firman
Allah  Ta'ala  :
Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaltu
(bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata scbagai balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan
(Q.S As-Sajdah : 17)

Oleh karena itu, tak seorang pun mengetahui apa yang tcrsembunyi bagi mereka
dari bidadari-bidadari penyejuk mata sebagai balasan pada apa-apa yang
mereka lakukan. Dan di sorga diperoleh kenikmatan-kenikmatan bagi mukmin
dan mukminat dari apa-apa yang mereka inginkan, dan juga didapatkan
hidangan-hidangan, dan akan menjadi saling ridho di antara keduanya
sepenuhnya. Maka wajib bagi keduanya (suami-isteri) di dunia ini untuk
beramal sholeh agar memperoleh kebahagiaan di sorga dengan penuh
kenikmatan dan rahmat Allah Ta'ala yang sangat mulia lagi pemberi rahmat.

Adapun kecemburuan seorang laki-laki pada keluarganya dan kehormatannya,
maka hal tersebut 'dituntut dan wajib' baginya karena termasuk kewajiban
seorang laki-laki untuk cemburu pada kehormatannya dan kemuliaannya. Dan
dengan adanya kecemburuan ini, akan menolak adanya kemungkaran di
keluarganya. Adapun contoh kecemburuan dia pada isteri dan anak-anaknya,
yaitu dengan cara tidak rela kalau meraka telanjang dan membuka tabir di
depan laki-laki yang bukan mahramnya, bercanda bersama mereka, hingga
seolah-olah laki-laki itu saudaranya atau anak-anaknya.

Anehnya bahwa kecemburuan seperti ini, di jaman kita sekarang dianggap
ekstrim-fanatik, dan lain-lain. Akan tetapi akan hilang keheranan itu ketika kita

sebutkan bahwa manusia di jaman kita sekarang ini telah hidup dengan adat
barat yang jelek. Dan maklum bahwa masyarakat barat umumnya tidak
mengenal makna aib, kehormatan dan tidak kenal kemuliaan, karena serba boleh
(permisivisme), mengumbar hawa nafsu kebebasan saja. Maka orang¬orang
yang mengagumi pada akhlaq-akhlaq barat ini tidak mau memperhatikan pada
akhlaq Islam yang dibangun atas dasar penjagaan kehormatan, kemuliaan clan
keutamaan.

Sesungguhnya Rasulullah  shalallahu ‘alaihi wa sallam  telah mensifati seorang laki-
laki yang tidak cemburu pada keluarganya dengan sifat-¬sifat yang jelek, yaitu
Dayyuuts: Sungguh ada dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-
Thabraani dari Amar bin Yasir ; serta dari Al-Hakim, Ahmad dan Baihaqi dan
Abdullah bin Amr , dari Nabi  shalallahu ‘alaihi wa sallam  bahwa ada tiga golongan
yang tidak akan masuk surga yaitu peminum khomr, pendurhaka orang tua  dan
dayyuts. Kemudian Nabi menjelaskan tentang dayyuts, yaitu orang yang
membiarkan keluarganya dalam kekejian atau kerusakan, dan keharaman.

(Dikutip dari kitab Ushulul Mu’asyarotil Zaujiyah, Edisi Indonesia “Tata
Pergaulan Suami Istri Jilid I” Penerbit Maktabah Al-Jihad, Jogjakarta) 

Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

Penulisan markup di komentar
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • Untuk menyisipkan kode gunakan <i rel="code"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan kode panjang gunakan <i rel="pre"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan quote gunakan <i rel="quote"> catatan anda </i>
  • Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image"> URL gambar </i>
  • Untuk menyisipkan video gunakan [iframe] URL embed video [/iframe]
  • Kemudian parse kode tersebut pada kotak di bawah ini
  • © 2015 Simple SEO ✔