Al-Khitbah dengan dikasrah 'kho"nya berarti
pendahuluan "ikatan pernikahan"
yang maknanya permintaan seorang laki-laki
pada wanita untuk dinikahi. Dan
hal ini pada umumnya ada pada laki-laki.
Maka yang memulai disebut
"khoothoban” (yang meminang) sedang
yang lain disebut "makhthuuban” (yang
dipina ng).
Meminang itu sunnah sebelum akad nikah, karena Nabi Muhammad shalallahu
‘alaihi wa sallam meminang untuk dirinya dan untuk yang lain.
Dan tujuan
meminang yaitu : mengetahui pendapat yang
dipinang, apakah ada setuju atau
tidak. Demikian juga untuk mengetahui
pendapat walinya.
Meminang itu akan mengungkap keadaan, sikap
wanita itu dan keluarganya.
Dimana kecocokan dua unsur ini dituntut
sebelum akad nikah, dan Nabi
shalallahu ‘alaihi
wa sallam
telah melarang menikahi seorang wanita kecuali
dengan izin wanita tersebut, sebagaimana
diriwayatkan Imam Bukhori dan
Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: telah bersabda Rasulullah
shalallahu ‘alaihi
wa sallam :
“ Tidak dinikahi
seorang janda kecuali sampai dia minta dan tidak dinikahi seorang gadis
sampai dia
mengijinkan (sesuai kemauannya) ,
Mereka bertanya " Ya Rasulullah,
bagaimana ijinnya ? Beliau menjawab
' Jika dia
diam
'.
Maka bila janda dikuatkan dengan
musyawarahnya dan wali butuh pada
kesepakatan yang terang-terangan untuk
menikah. Adapun gadis, wali harus
minta ijinnya, artinya dia dimintai
ijin/pertimbangan untuk menikah dan tidak
dibebani dengan jawaban yang terang-terangan
untuk menunjukkan
keridhaannya, tetapi cukup dengan diamnya,
sungguh dia malu untuk
menjawab dengan terang-terangan. Dan makna
ini juga terdapat dalam hadits
'Aisyah radhiallahu 'anha bahwa beliau berkata " Ya Rasulullah,
sesungguhnya gadis
itu akan malu
", maka beliau bersabda: Ridhanya ialah diamnya ' (HR Bukhori dan
Muslim)
Akan tetapi hendaknya diyakinkan bahwa
diamnya adalah diam ridha, bukan
diam menolak, dan itu harus diketahui oleh
walinya dengan melihat kenyataan
dan tanda- tandanya. Dan perkara ini tidak
samar lagi bagi wali pada umumnya.
Adapun
kesepakatan wali dari pihak wanita itu merupakan perkara yang harus
dan merupakan syarat dalam nikah menurut
jumhur ulama karena jelasnya
hadits dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda :
“ Tidak ada nikah kecuali dengan wali
.”
(HR Ahmad dan Ashhabus Sunan)
Dan jumhur mengambil dalil atas syarat
ridhanya wali dengan firman Allah
Subhanahu Wa
Ta’ala :
" Maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya
” (QS Al-Baqarah : 232)
Artinya : Jangan kau cegah wanita yang
tercerai untuk kembali ke pangkuan
suaminya, karena dia lebih berhak untuk
ruju' jika memungkinkan secara syariat.
Telah berkata Imam Syafii "Ini ayat
yang paling jelas tentang permasalahan wali
dan kalau tidak maka pelarangan wali tidak
bermakna".
(Lihat Subulussalaam Syarah Bulughul Maram,
Ash-Shan'any, juz 3 hal 130).
B. Memandang
Pinangan (Nadzor)
Pada dasarnya di dalam hukum syariat melihat
wanita asing bagi lelaki dan
sebaliknya adalah haram. Yang diwajibkan
adalah menundukan pandangan dari
yang haram bagi laki-laki maupun wanita,
firman Allah Ta'ala (yang artinya) :
”Katakanlah kepada
orang laki-laki yang beriman : Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan
memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat; Katakanlah
kepada wanita yang
beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali
yang (biasa)
nampak dari padanya.
Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakan perhiasannya,
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara laki-laki
mereka, atau putera saudara laki¬-laki mereka, atau putera saudara-
saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka
miliki ; atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita, Dan janganlah
mereka memukulkan
kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu
beruntung"
(Q.S An¬Nuur : 30-31)
Adapun orang yang meminang, memandang gadis
yang dipinangnya atau
sebaliknya maka itu boleh, bahkan itu
dianjurkan. Akan tetapi dengan syarat
berniat untuk mengkhitbah. Hadits-hadits
tentang ini banyak sekali.
Adapun dalam hadits Shahih Muslim dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu
bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata pada seseorang yang akan
menikahi wanita :
' Apakah engkau telah melihatnya ? dia berkata : " Belum ".
Beliau bersabda :' Maka
pergilah, lalu
lihatlah padanya . "
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud,
Hakim dari Jabir bin Abdullah
Radhiyallahu ‘anhu : Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Jika salah seorang diantara kalian
meminang seorang perempuan dan jika mampu
melihat seorang
perempuan dari apa-apa yang mendorong kamu untuk menikahinya
maka kerjakan
.”
Orang yang meminang menurut jumhur ulama.
Karena wajah cukup untuk
bukti kecantikannya dan dua tangan cukup
untuk bukti keindahan/kehalusan
kulit badannya. Adapun yang lebih jauh dari
itu kalau dimungkinkan, maka
hendaknya orang yang meminang boleh
memandang pinangannya pada telapak
tangan dan wajah saja mengutus ibunya atau
saudara perempuannya untuk
menyingkapnya, seperti bau mulutnya, bau
ketiaknya dan badannya, serta
keindahan rambutnya.
Dan yang lebih baik orang yang meminang
melihat pada yang dipinang sebelum
dia meminang, sehingga jika dia tidak suka
padanya, maka dia bisa berpaling
dari perempuan itu tanpa menyakitinya. Dan
tidak disyaratkan adanya
keridhaan atau sepengetahuan si wanita itu,
bahkan si lelaki itu boleh melihat
tanpa diketahui wanita pinangannya atau
ketika dia lalai (diintip) dan itu lebih
utama..
Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan Thabrani dari Abi Humaid
As-Sa'idi Radhiyallahu ‘anhu , bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“ Apabila seorang diantara kamu meminang
wanita, maka tidak mengapa kamu
melihatnya jika
kamu melihatnya untuk dipinang, meskipun wanita itu tidak tahu ”
Adapun yang menjadi kebiasaan kaum muslimin
dalam 'pinangan' yaitu
berdua-berduaan, pergi dan bergadang berdua,
maka itu adalah racun karena
mengikuti kebiasaan orang-orang barat yang
jelek, yang menyerbu negeri-negeri
muslimin. Alasan mereka yaitu masing¬-masing
dari dua orang yang
bertunangan akan bisa saling mempelajari
karakter yang lainnya dengan jalan
tersebut dan untuk lebih mengenal agar nanti
menjadi pasangan yang ideal dan
bahagia.
Ini adalah sesuatu yang tidak benar
berdasarkan kenyataan sebab masing-
masing berpura-pura dihadapan pasangannya
dengan apa-¬apa yang tidak ada
padanya, yakni berupa akhlaq yang baik. Dan
menampakkan bagi pasangan
apa-apa yang berbeda dari kenyataanya dan
tidak menampakkan aslinya kecuali
setelah nikah dimana telah hilang sikap
kepura-puraan itu dan terbongkar
hakekat dari masing-masing keduanya. Maka
mereka akan ditimpa kekecewaan
yang besar.
Kami tahu berdasarkan pengalaman kami di
mahkamah syar’iyyah bahwa
menempuh jalan yang disyari'atkan dan
menjaga hukum-hukum syari'at dari
keduanya di semua tahapan-¬tahapan dalam
menuju pernikahan, dimulai dari
khitbah sampai dengan malam pengantin merupakan
sebab yang menjamin
kebahagiaan rumah tangga bagi keduanya
dengan taufiq dan keridhoan Allah
Subhanahu wa ta'ala. Adapun orang yang
melakukan
tahapan-tahapan itu dengan kebiasaan
orang-orang kafir yang jelek maka
mereka akan mengalami kegagalan.
C. Sifat-Sifat Yang Dituntut Dalam Meminang
Dan Menerima Pinangan
Ketika pemuda dan pemudi menginjak remaja
maka mulailah dalam pikirannya
terbetik kriteria-kriteria dan sifat-sifat
siapa calon pendampingnya untuk
menjadi isterinya pada suatu hari nanti.
Dan pandangan orang terhadap sifat-sifat itu
berbeda-beda, sesuai denga taraf
pendidikannya yang dia tumbuh padanya. Maka
sebagian mereka ada yang
membuat kriteria, yang meliputi beberapa
syarat seperti bentuk badan tingginya,
warna kulitnya, warna mata. Dan diantara
mereka ada yan mensyaratkan dari
sisi hartanya, kekayaannya, nasab dan
lain-lain.
Dan semua syarat-syarat ini dalam
kenyataannya dituntut dan disukai, juga
tidak dilarang untuk mencari orang yang
demikian itu. Akan yang lebih baik
dari itu semuanya adalah agamanya. Dalilnya
yang diriwayatkan imam Bukhori
dan Muslim dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam yang bersabda :
“ Dinikahi wanita karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya,
maka utamakanlah
yang punya agama sehingga kamu akan beruntung .”
Makna "yang memiliki agama" yaitu
: wanita yang beragama, shalihah dan
berakhlak baik. Maka hendaknya tujuan
meminang adalah memilih wanita yang
punya agama. Adapun bila terkumpul semua
sifat-sifat yang lain dari harta,
keturunan dan kecantikan disertai punya
agama, maka itu adalah kebaikan di
atas kebaikan. Akan tetapi tidak ada
kebaikan pada seseorang yang memiliki
harta atau keturunan, atau kecantikan tanpa
punya agama.
Wanita yang punya kecantikan tanpa agama
adalah wanita yang menipu orang
lain dan diri sendiri, dan wanita yang punya
harta tanpa agama adalah wanita
yang menindas, lacur atau rakus. Adapun
wanita yang punya , keturunan,
pangkat tanpa agama, dia wanita yang
sombong. Adapun wanita yang punya
agama ialah wanita yang selalu taat,
akhlaknya baik, tawadhu' sekalipun dia
punya kecantikan, kekayaan, pangkat yang
tinggi atau keturunan mulia.
Keadaan serta sifat-sifat ini tidak hanya
khusus pada wanita saja, bahkan juga
untuk laki-laki. Maka bagi wanita yang
dipinang, agar jangan tertipu dengan
kekayaan, ketampanannya, keturunan atau
pangkatnya. Bahkan wanita wajib
unluk meneliti terlebih dahulu agamanya,
jika lelaki itu termasuk beragama,
shaleh, maka sungguh terkumpul padanya
syarat-syarat terpenting, sehingga
jadilah sifat-sifat menempati peringkat
kedua.
Sesungguhnya seorang lelaki yang beragama
akan menjaga warita dan
memeliharanya, dan akan mempergauli
isterinya dengan cara yang baik, akan
bersabar atas kekurangan-kekurangan isteri, dan
ini yang terpenting. Maka bila
Iaki-laki itu mencintainya, dia akan
memuliakan isterinya, dan jika dia
membencinya, dia tidak akan mendhaliminya
meskipun si isteri suka hidup
brrsamanya, dan bila lebih mengutamakan
bercerai, maka dia tidak menahannya
untuk menyakitinya, tetapi dia pisah dengan
perpisahan yang sebaik-baiknya.
Sesungguhnya kehidupan 'suami - isteri'
penuh dengan kesulitan dan tanggung
jawab yang berat serta berhadapan dengan
keadaan yang selalu berubah. Jika
rumah tangganya ditegakan karena harta,
kemudian hilang hartanya, maka apa
yang terjadi ? dan jika ditegakkan di atas
kecantikan atau kedudukan, kemudian
berubah, maka apa yang terjadi ? Tidak
diragukan lagi akan terjadi perpecahan
dalam rumah tangga dan akan muncul perselisihan,
karena pernikahannya tidak
ditegakkan di atas dasar yang kokoh, tetapi
atas syahwat Individu tanpa
pangkal dan landasan yang kuat.
Adapun apabila pernikahan dibangun atas
dasar menjaga agama, dimana agama
itu merupakan aqidah yang tetap dan kokoh di
hati muslim yang beragama, dia
bangun diatasnya perbuatan dan perkataannya,
dan dari dasar Itu dia
bermuamalah dengan yang lainnya. Maka kita
tahu, bahwa seorang muslim
yang
beragama, baik laki-laki maupun perempuan, dia akan bersyukur pada
Allah Subhanahu wa taala dalam keadaan
lapang, dan bersabar dalam keadaan
sempit. Dia akan bergaul atau mensikapi
kenyataan dengan iman dan sabar, dan
dia akan saling tolong-menolong dengan
isterinya ( teman hidupnya) dengan
penuh amanah dan kegembiraan.
D. Cinta, Rindu Dan Cemburu
Banyak orang berbicara tentang masalah ini
tapi tidak sesuai dengan yang
sebenarnya. Atau tidak menjelaskan
batasan-batasan dan maknanya secara syari.
Dan kapan seseorang itu keluar dari
batasan-batasan tadi. Dan seakan-akan yang
menghalangi untuk membahas masalah ini
adalah salahnya ¬pemahaman
bahwa pembahasan masalah ini berkaitan
dengan akhlaq yang rendah dan
berkaitan dengan perzinahan, perkataan yang
keji. Dan hal in adalah salah. Tiga
perkara ini adalah sesuatu yang berkaitan
dengan manusia yang memotivasi
untuk menjaga dan mendorong kehormatan dan
kemuliaannya.
Aku memandang pembicaraan ini yang
terpenting adalah batasannya,
penyimpangannya, kebaikannya, dan
kejelekannya. Tiga kalimat ini ada dalam
setiap hati manusia, dan mereka memberi
makna dari tiga hal ini sesuai dengan
apa yang mereka maknai.
1. Cinta (AI-Hubb)
Cinta yaitu Al-Widaad yakni kecenderungan
hati pada yang dicintai, dan itu
termasuk amalan hati, bukan amalan anggota
badan/dhahir. Pernikahan itu
tidak akan bahagia dan berfaedah kecuali
jika ada cinta dan kasih sayang
diantara suami-isteri. Dan kuncinya
kecintaan adalah pandangan. Oleh karena
itu, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam , menganjurkan
pada orang yang
meminang untuk melihat pada yang dipinang
agar sampai pada kata sepakat
dan cinta, seperti telah kami jelaskan dalam
bab Kedua.
Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan Nasa'i dari Mughirah bin
Su'bah Radhiyallahu ‘anhu berkata ;" Aku telah meminang seorang
wanita ", lalu
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku :” Apakah kamu telah
melihatnya ?" Aku berkata :" Belum
", maka beliau bersabda : ' Maka lihatlah dia,
karena
sesungguhnya hal itu pada akhimya akan lebih menambah kecocokan dan kasih
sayang antara
kalian berdua '
Sesungguhnya kami tahu bahwa kebanyakan dari
orang-orang, lebih-lebih
pemuda dan pemudi, mereka takut membicarakan
masalah "cinta", bahkan
umumnya mereka mengira pembahasan cinta
adalah perkara-perkara yang
haram, karena itu mereka merasa menghadapi
cinta itu dengan keyakinan dosa
dan mereka mengira diri mereka bermaksiat,
bahkan salah seorang diantara
mereka memandang, bila hatinya condong pada
seseorang berarti dia telah
berbuat dosa.
Kenyataannya, bahwa di sini banyak sekali
kerancuan-kerancuan dalam
pemahaman mereka tentang "cinta"
dan apa-apa yang tumbuh dari cinta itu, dari
hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Dimana mereka beranggapan bahwa
cinta itu suatu maksiat, karena sesungguhnya
dia memahami cinta itu dari apa-
apa yang dia lihat dari lelaki-lelaki rusak
dan perempuan-perempuan rusak
yang diantara mereka menegakkan hubungan
yang tidak disyariatkan. Mereka
saling duduk, bermalam, saling bercanda,
saling menari, dan minum-minum,
bahkan sampai mereka berzina di bawah
semboyan cinta. Mereka mengira
bahwa 'cinta' tidak ada lain kecuali yang
demikian itu. Padahal sebenarnya tidak
begitu, tetapi justru sebaliknya.
Sesungguhnya kecenderungan seorang lelaki
pada wanita dan kecenderungan
wanita pada lelaki itu merupakan syahwat
dari syahwat¬-syahwat yang telah
Allah hiaskan pada manusia dalam masalah
cinta, Artinya Allah menjadikan di
dalam syahwat apa-apa yang menyebabkan hati
laki-laki itu cenderung pada
wanita, sebagaimana firman Allah Ta'ala
(yang artinya) :
" Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu :
wanita-wanita, anak-anak,... “,
(Q.S Ali¬-Imran : 14)
Andaikan tidak ada rasa cinta lelaki pada
wanita atau sebaliknya, maka tidak
ada pernikahan, tidak ada keturunan dan
tidak ada keluarga. Namun, Allah
Ta'ala tidaklah menjadikan lelaki cinta pada
wanita atau sebaliknya supaya
menumbuhkan diantara keduanya hubungan yang
diharamkan, tetapi untuk
menegakkan hukum-hukum yang disyari'atkan
dalam bersuami isteri,
sebagaimana tercantum dalam hadits Ibnu
Majah, dari Abdullah bin Abbas
radiyallahu anhuma berkata : telah bersabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam :
" Tidak terlihat dua orang yang
saling mencintai, seperti pemikahan
.”
Dan agar orang-orang Islam menjauhi
jalan-jalan yang rusak atau keji, maka
Allah telah menyuruh yang pertama kali agar
menundukan pandangan, karena
pandangan' itu kuncinya hati, dan Allah
telah haramkan semua sebab-sebab
yang mengantarkan pada Fitnah, dan kekejian,
seperti berduaan dengan orang
yang bukan mahramya, bersenggolan,
bersalaman, berciuman antara lelaki dan
wanita, karena perkara ini dapat menyebabkan
condongnya hati. Maka bila hati
telah condong, dia akan sulit sekali menahan
jiwa setelah itu, kecuali yang
dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala .
Allah lah yang menghiasi bagi manusia untuk
cinta pada syahwat ini, maka
manusia mencintainya dengan cinta yang
besar, dan sungguh telah tersebut
dalam hadits bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
" Diberi rasa cinta padaku dari
dunia kalian ; wanita dan wangi¬-wangian dan dijadikan
penyejuk mataku
dalam sholat ”
( HR Ahmad, Nasa'i, Hakim dan Baihaqi)
Bahwa Allah tidak akan menyiksa manusia
dalam kecenderungan hatinya. Akan
tetapi manusia akan disiksa dengan sebab
jika kecenderungan itu diikuti dengan
amalan-amalan yang diharamkan. Contohnya :
apabila lelaki dan wanita saling
pandang memandang atau berduaan atau duduk
cerita panjang lebar, lalu
cenderunglah hati keduanya dan satu sama
lainnya saling mencinta, maka
kecondongan ini tidak akan menyebabkan
keduanya disiksanya, karena hal itu
berkaitan dengan hati, sedang manusia tidak
bisa untuk menguasai hatinya.
Akan tetapi, keduanya diazab karena yang dia
lakukan. Dan karena keduanya
melakukan sebab yang menyampaikan pada
'cinta', seperti telah kami sebutkan.
Dan keduanya akan dimintai tanggungjawab dan
akan disiksa juga dari setiap
keharaman yang dia perbuat setelah itu.
Adapun cinta yang murni yang dijaga
kehormatannya, maka tidak ada dosa
padanya, bahkan telah disebutkan oleh
sebagian ulama seperti Imam Suyuthi,
bahwa orang yang mencintai seseorang lalu
menjaga kehormatan dirinya dan
dia menyembunyikan cintanya maka dia diberi
pahala, sebagaimana akan
dijelaskan dalam ucapan kami dalam bab
'Rindu'. Dan dalam keadaan yang
mutlak, sesungguhnya yang paling selamat
yaitu menjauhi semua sebab-sebab
yang menjerumuskan hati dalam persekutuan
cinta, dan mengantarkan pada
bahaya-bahaya yang banyak, namun sangat
sedikit mereka yang selamat.
2. Rindu
(Al-'Isyq)
Rindu itu ialah cinta yang berlebihan, dan
ada rindu yang disertai dengan
menjaga diri dan ada juga yang diikuti
dengan kerendahan. Maka rindu tersebut
bukanlah hal yang tercela dan keji secara
mutlak. Tetapi bisa jadi orang yang
rindu itu, rindunya disertai dengan menjaga
diri dan kesucian, dan kadang-
kadang ada rindu itu disertai kerendahan dan
kehinaan.
Sebagaimana telah disebutkan, dalam ucapan
kami tentang cinta maka rindu
juga seperti itu, termasuk amalan hati, yang
orang tidak mampu menguasainya.
Tapi manusia akan dihisab atas sebab-sebab
yang diharamkan dan atas hasil-
hasilnya yang haram. Adapun rindu yang
disertai dengan menjaga diri padanya
dan menyembunyikannya dari orang-orang, maka
padanya pahala, bahkan Ath-
Thohawi menukil dalam kitab Haasyi'ah
Marakil Falah dari Imam Suyuthi yang
mengatakan bahwa termasuk dari golongan
syuhada di akhirat ialah orang-
orang yang mati dalam kerinduan dengan tetap
menjaga kehormatan diri dan
disembunyikan dari orang-orang meskipun
kerinduan itu timbul dari perkara
yang haram sebagaimana pembahasan dalam
masalah cinta.
Makna ucapan Suyuthi adalah orang-orang yang
memendam kerinduan baik
laki-laki maupun perempuan, dengan tetap
menjaga kehormatan dan
menyembunyikan kerinduannya sebab dia tidak
mampu untuk mendapatkan
apa yang dirindukannya dan bersabar atasnya
sampai mati karena kerinduan
tersebut maka dia mendapatkan pahala syahid
di akhirat.
Hal ini tidak aneh jika fahami kesabaran
orang ini dalam kerinduan bukan
dalam kefajiran yang mengikuti syahwat dan
dia bukan orang yang rendah yang
melecehkan kehormatan manusia bahkan dia
adalah seorang yang sabar,
menjaga diri meskipun dalam hatinya ada
kekuatan dan ada keterkaitan dengan
yang dirindui, dia tahan kekerasan jiwanya,
dia ikat anggota badannya sebab ini
di bawah kekuasaannya. Adapun hatinya dia
tidak bisa menguasai maka dia
bersabar atasnya dengan sikap afaf (menjaga
diri) dan menyembunyikan
kerinduannya sehingga dengan itu dia mendapa
pahala.
3. Cemburu
(Al-Ghairah)
Cemburu ialah kebencian seseorang untuk
disamai dengan orang lain dalam
hak-haknya, dan itu merupakan salah satu
akibat dari buah cinta. Maka tidak
ada cemburu kecuali bagi orang yang
mencintai. Dan cemburu itu ternasuk sifat
yang baik dan bagian yang mulia, baik pada
laki-laki atau wanita.
Ketika seorang wanita cemburu maka dia akan
sangat marah ketika suaminya
berniat kawin dan ini fitrah padanya. Sebab
perempuan tidak akan menerima
madunya karena kecemburuannya pada suami,
dia senang bila diutamakan,
sebab dia mencintai suaminya. Jika dia tidak
mencintai suaminya, dia tidak akan
peduli (lihat pada bab 1). Kita tekankan
lagi disini bahwa seorang wanita akan
menolak madunya, tetapi tidak boleh menolak
hukum syar'i tentang bolehnya
poligami. Penolakan wanita terhadap madunya
karena gejolak kecemburuan,
adapun penolakan dan pengingkaran terhadap
hukum syar'i tidak akan terjadi
kecuali karena kelalaian dan kesesatan.
Adapun wanita yang shalihah, dia akan
menerima hukum-hukum syariat
dengan tanpa ragu¬-ragu, dan dia yakin bahwa
padanya ada semua kebaikan
dan hikmah. Dia tetap memiliki kecemburuan
terhadap suaminya serta
ketidaksenangan terhadap madunya.
Kami katakan kepada wanita-wanita muslimah
khususnya, bahwa ada bidadari
yang jelita matanya yang Allah Ta'ala
jadikan mereka untuk orang mukmin di
sorga. Maka wanita muslimat tidak boleh
mengingkari adanya 'bidadari' ini
untuk orang mukmin atau mengingkari hai-hal
tersebut, karena dorongan
cemburu.
Maka kami katakan padanya :
1. Dia tidak tahu apakah dia akan berada
bersama suaminya di surga kelak atau
tidak.
2. Bahwa cemburu tidak ada di surga, seperti
yang ada di dunia.
3. Bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengkhususkan juga bagi wanita
dengan kenikmatan-kenikmatan yang mereka
ridlai, meski klta tidak
mengetahui secara rinci.
4. Surqa merupakan tempat yang kenikmatannya
belum pernah terlihat oleh
mata, terdengar oleh telinga dan terbetik
dalam hati manusia, seperti firman
Allah Ta'ala
:
“ Seorangpun tidak mengetahui apa yang
disembunyikan untuk mereka yaltu
(bermacam-macam
nikmat) yang menyedapkan pandangan mata scbagai balasan
terhadap apa yang
telah mereka kerjakan ”
(Q.S As-Sajdah : 17)
Oleh karena itu, tak seorang pun mengetahui
apa yang tcrsembunyi bagi mereka
dari bidadari-bidadari penyejuk mata sebagai
balasan pada apa-apa yang
mereka lakukan. Dan di sorga diperoleh
kenikmatan-kenikmatan bagi mukmin
dan mukminat dari apa-apa yang mereka
inginkan, dan juga didapatkan
hidangan-hidangan, dan akan menjadi saling
ridho di antara keduanya
sepenuhnya. Maka wajib bagi keduanya
(suami-isteri) di dunia ini untuk
beramal sholeh agar memperoleh kebahagiaan
di sorga dengan penuh
kenikmatan dan rahmat Allah Ta'ala yang sangat
mulia lagi pemberi rahmat.
Adapun kecemburuan seorang laki-laki pada
keluarganya dan kehormatannya,
maka hal tersebut 'dituntut dan wajib'
baginya karena termasuk kewajiban
seorang laki-laki untuk cemburu pada
kehormatannya dan kemuliaannya. Dan
dengan adanya kecemburuan ini, akan menolak
adanya kemungkaran di
keluarganya. Adapun contoh kecemburuan dia
pada isteri dan anak-anaknya,
yaitu dengan cara tidak rela kalau meraka
telanjang dan membuka tabir di
depan laki-laki yang bukan mahramnya, bercanda
bersama mereka, hingga
seolah-olah laki-laki itu saudaranya atau
anak-anaknya.
Anehnya bahwa kecemburuan seperti ini, di
jaman kita sekarang dianggap
ekstrim-fanatik, dan lain-lain. Akan tetapi
akan hilang keheranan itu ketika kita
sebutkan bahwa manusia di jaman kita
sekarang ini telah hidup dengan adat
barat yang jelek. Dan maklum bahwa
masyarakat barat umumnya tidak
mengenal makna aib, kehormatan dan tidak
kenal kemuliaan, karena serba boleh
(permisivisme), mengumbar hawa nafsu
kebebasan saja. Maka orang¬orang
yang mengagumi pada akhlaq-akhlaq barat ini
tidak mau memperhatikan pada
akhlaq Islam yang dibangun atas dasar
penjagaan kehormatan, kemuliaan clan
keutamaan.
Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mensifati seorang laki-
laki yang tidak cemburu pada keluarganya
dengan sifat-¬sifat yang jelek, yaitu
Dayyuuts: Sungguh ada dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ath-
Thabraani dari Amar bin Yasir ; serta dari
Al-Hakim, Ahmad dan Baihaqi dan
Abdullah bin Amr , dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada tiga golongan
yang tidak akan masuk surga yaitu peminum
khomr, pendurhaka orang tua dan
dayyuts. Kemudian Nabi menjelaskan tentang
dayyuts, yaitu orang yang
membiarkan keluarganya dalam kekejian atau
kerusakan, dan keharaman.
(Dikutip dari kitab Ushulul Mu’asyarotil
Zaujiyah, Edisi Indonesia “Tata
Pergaulan Suami Istri Jilid I” Penerbit
Maktabah Al-Jihad, Jogjakarta)
0 Komentar
Penulisan markup di komentar