Jika kita bisa menelusuri lebih dalam literatur klasik dari sumber-sumber
Islam, maka janganlah kaget bila kita akan menemukan bahwa banyak sekali
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara zaman dulu itu sesungguhnya merupakan
bagian dari kekhalifahan Islam di bawah Turki Utsmaniyah. Jadi bukan sekadar
hubungan diplomatik seperti yang ada di zaman sekarang, namun hubungan
diplomatik yang lebih didasari oleh kesamaan iman dan ukhuwah Islamiyah. Jika
satu negara Islam diserang, maka negara Islam lainnya akan membantu tanpa
pamrih, semata-mata karena kecintaan mereka pada saudara seimannya. Bukan tidak
mungkin, konsep “Ukhuwah Islamiyah” inilah yang kemudian diadopsi oleh
negara-negara Barat-Kristen (Christendom) di abad-20 ini dalam bentuk kerjasama
militer (NATO, North Atlantic Treaty Organization), dan bentuk-bentuk kerjasama
lainnya seperti Uni-Eropa, Commonwealth, G-7, dan sebagainya.
Bersatu Dengan Kekhalifahan Turki Utsmani
Diikat kesatuan akidah
yang kuat, Aceh Darusalam mengikatkan diri dengan kekhalifahan Islam Turki
Ustmaniyah. Sebuah arsip Utsmani berisi petisi Sultan Alaiddin Riayat Syah
kepada Sultan Sulayman Al-Qanuni, yang dibawa Huseyn Effendi, membuktikan jika
Aceh mengakui penguasa Utsmani di Turki sebagai kekhalifahan Islam. Dokumen
tersebut juga berisi laporan soal armada Salib Portugis yang sering mengganggu
dan merompak kapal pedagang Muslim yang tengah berlayar di jalur pelayaran
Turki-Aceh dan sebaliknya. Portugis juga sering menghadang jamaah haji dari
Aceh dan sekitarnya yang hendak menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Sebab itu,
Aceh mendesak Turki Utsmaniyah mengirim armada perangnya untuk mengamankan
jalur pelayaran tersebut dari gangguan armada kafir Farangi (Portugis).
Sultan Sulayman Al-Qanuni wafat pada 1566 M digantikan Sultan Selim II yang
segera memerintahkan armada perangnya untuk melakukan ekspedisi militer ke
Aceh. Sekitar bulan September 1567 M, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir
Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh membawa sejumlah ahli senapan api,
tentara, dan perlengkapan artileri. Pasukan ini oleh Sultan diperintahkan
berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh Sultan Aceh. Walau berangkat dalam
jumlah amat besar, yang tiba di Aceh hanya sebagiannya saja, karena di tengah
perjalanan, sebagian armada Turki dialihkan ke Yaman guna memadamkan
pemberontakan yang berakhir pada 1571 M.
Di Aceh, kehadiran armada Turki disambut meriah. Sultan Aceh
menganugerahkan Laksamana Kurtoglu Hizir Reis sebagai gubernur (wali) Nanggroe
Aceh Darussalam, utusan resmi Sultan Selim II yang ditempatkan di wilayah
tersebut.7 Pasukan Turki tiba di Aceh secara bergelombang (1564-1577) berjumlah
sekitar 500 orang, namun seluruhnya ahli dalam seni bela diri dan mempergunakan
senjata, seperti senjata api, penembak jitu, dan mekanik. Dengan bantuan tentara
Turki, Kesultanan Aceh menyerang Portugis di pusatnya, Malaka.
Agar aman dari gangguan perompak, Turki Ustmani juga mengizinkan
kapal-kapal Aceh mengibarkan bendera Turki Utsmani di kapalnya. Laksamana Turki
untuk wilayah Laut Merah, Selman Reis, dengan cermat terus memantau tiap
pergerakan armada perang Portugis di Samudera Hindia. Hasil pantauannya itu
dilaporkan Selman ke pusat pemerintahan kekhalifahan di Istanbul, Turki. Salah
satu bunyi laporan yang dikutip Saleh Obazan sebagai berikut:
“(Portugis) juga
menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera).
Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang
kafir, mereka juga menguasai pelabuan Malaka yang berhadapan dengan Sumatera.
Karena itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, Insya Allah, bergerak
melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak akan terelakkan lagi, karena
satu benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk
perlawanan yang bersatu.”
Namun Portugis tetap
sombong. Raja Portugis Emanuel I dengan angkuh berkata, “Sesungguhnya tujuan
dari pencarian jalan laut ke India adalah untuk menyebarkan agama Kristen, dan
merampas kekayaan orang-orang Timur
Selain Aceh, sejumlah
kesultanan di Nusantara juga telah bersekutu dengan kekhalifahan Turki
Utsmaniyah, seperti Kesultanan Buton, Sulawesi Selatan. Salah satu Sultan
Buton, Lakilaponto, dilantik menjadi ‘sultan’ dengan gelar Qaim ad-Din yang
memiliki arti “penegak agama”, yang dilantik langsung oleh Syekh Abdul Wahid
dari Mekkah. Sejak itu, Sultan Lakiponto dikenal sebagai Sultan Marhum.
Penggunaan gelar ‘sultan’ ini terjadi setelah diperoleh persetujuan dari Sultan
selain di buton sulawesi selatan, di barat pulau jawa yaitu Banten sejak awal
memang meganggap dirinya sebagai kerajaan Islam, dan tentunya termasuk Dar
al-Islam yang ada dibawah kepemimpinan Khalifah Turki Utsmani di Istanbul.
Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar sultan dari syarif mekah. Pada akhir
abad 20, Konsul Turki di Batavia membagi-bagikan al-Quran atas nama Sultan
Turki. Di istambul dicetak tafsir al-Quran berbahasa melayu karangan Abdur Rauf
Sinkili dengan tertera “dicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang Islam”.
Sultan Turki juga memberikan beasiswa kepada empat orang anak keturunan Arab di
Batavia untuk bersekolah di Turki.
Pengakuan Snouck
Hurgrounye bahwa rakyat kebanyakan pada umumnya di Indonesia, melihat stambol
[Istambul, kedudukan Khalifah Usmaniyah] masih senantiasa sebagai kedudukan
seorang raja semua orang mukmin dan tetap [dipandang] sebagai raja dari segala
raja di dunia. Mereka juga berpikir bahwa “sultan-sultan yang belum beragama
mesti tunduk dan memberikan penghormatannya kepada khalifah.”
Deliar Noer, Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cetakan keenam, LP3ES, 1991, hal. 34.
Deliar Noer dalam footnotenya menyatakan bahwa dalam perang dunia I, khalifah
di Turki menyatakan perang jihad kepada musuh-musuhnya dan berseru kepada semua
orang islam termasuk orang islam di Indonesia untuk memerangi musuh-musuhnya
itu.
Lebih jauh lagi, sejak
Islam masuk Raja Sriwijaya Jambi bernama Srindravarman mengirim surat kepada
Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dari Khilafah Bani Umayah pada tahun 100 H (718
M).
Salah satu isi
suratnya berbunyi, “Dari Raja di Raja (Malik al amlak) yang adalah keturunan
seribu raja; yang beristeri juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang
binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang
mengairi pohon gaharu nan harum, bumbu-bumbu wewangian, pala, dan kapur barus
yang semerbak wanginya hing ga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang
tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada
Anda hadiah, yang sebenarnya mer upakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi
sekadar tanda persahabatan. Dengan setulus hati, saya ingin Anda mengirimkan
kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan
kepada saya tentang hukum-hukumnya.” Ini adalah surat dari Raja Sri Indrawarman
kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang baru saja diangkat menggantikan
Khalifah Sulaiman (715-717 M).
Khalif Sulaiman
merupakan khalifah yang memerintahkan Trariq Bin Ziyad membebaskan Spanyol.
Pada masa kekuasaannya yang hanya selama dua tahun, Khalif Sulaiman telah
memberangkatkan satu armada persahabatan berkekuatan 35 kapal perang dari Teluk
Persia menuju pelabuhan Muara Sabak (Jambi) yang saat itu merupakan pelabuhan
besar di dalam lingkung an Kerajaan Sriwijaya. Armada tersebut transit di
Gujarat dan juga di Pereulak (Aceh), sebelum akhirnya memasuki pusat Kerajaan
Zabag atau Sribuza (Sriwijaya).
Khalifah Umar bin
Abdul Aziz juga mengutus salah seorang ulama terbaiknya untuk memperkenalkan
Islam kepada Raja Sriwijaya, Sri Indrawarman, seperti yang diminta olehnya.
Tatkala mengetahui segala hal tentang Islam, Raja Sriwijaya ini tertarik.
Hatinya tersentuh hidayah. Pada tahun 718, Sri Indrawarman akhirnya mengucap
dua kalimat syahadat. Sejak itu kerajaannya disebut orang sebagai “Kerajaan
Sribuza yang Islam”. Tidak lama setelah Sri Indrawarman bersyahadat, pada tahun
726 M, Raja Jay Sima dari Kalingga (Jepara, Jawa Ten ah), putera dari Ratu Sima
juga memeluk agama Islam.
Data-data tentang
Islamnya Raja Sriwijaya memang begitu minim. Namun besar kemungkinan, Sri
Indrawarman mengalami penolakan yang sangat hebat dari lingkungan istana,
sehing ga raja-raja setelahnya kembali berasal dari kalangan Budha. H. Zainal
Abidin Ahmad hanya mencatat: “Perkembangan Islam yang begitu ramainya mendapat
pukulan yang dahsyat semenjak Kaisar-Kaisar Cina dari Dinasti Tang, dan juga
Raja-Raja Sriwijaya dari Dinasti Syailendra melakukan kezaliman dan pemaksaan
keagamaan.
Memasuki abad ke-14 M,
Sriwijaya memasuki masa muram. Invasi Majapahit (1377) atas Sriwijaya
menghancurkan kerajaan besar ini. Akibatnya banyak bandar mulai melepaskan diri
dan menjadi otonom. Raja, adipati, atau penguasa setempat yang telah memeluk
Islam kemudian mendirikan kerajaan Islam kecil-kecil. Beberapa kerajaan Islam
di Utara Sumatera pada akhirnya bergabung menjadi Kerajaan Aceh Darussalam.
Dari berbagai sumber..
0 Komentar
Penulisan markup di komentar