Pernah
membayangkan, ketika suatu saat nanti, kita menikahi orang yang belum
kita kenal, bahkan sangat asing? Dalam beberapa kasus, saya menemukan
kedua mempelai baru bertemu ketika akad nikah.
pacaran islami?
Entah kenapa, Nikah tanpa Pacaran, menjadi sesuatu yang asing bagi kita saat ini. Padahal, kalau kita mau mengakui, jujur dan belajar dari sejarah, pacaran merupakan “produk” abad terakhir. Sebelumnya, pernikahan terlaksana melalui proses perjodohan, atau kalaupun tidak, ketika seorang lelaki menyukai seorang perempuan, dia langsung datang ke rumah perempuan itu untuk meminang. Wow, Gentleman, EUY! Dan proses pernikahan pun, tidak ribet, tidak berbelit-belit. Kalaupun ada proses pengenalan, tidak berlangsung terlalu lama biasanya.
Berbeda sekali dengan kebanyakan orang-orang saat ini.
“Kalau belum kenal kan, ngeri juga…”
“Emang kita hidup di zaman Firaun, pake nikah dijodoh-jodohin segala…”
“Udah nggak zaman lagi deh, nikah pake dijodohin…”
“Pacaran itu kan proses, supaya kita saling mengenal, supaya nggak nyesel dan salah pilih…”
Ya, kira-kira seperti itu lah beberapa argumen yang sempat masuk ke telinga saya, termasuk saya juga pernah berpikiran seperti itu.
Ada satu pertanyaan, mana yang lebih banyak, kasus perceraian saat ini, atau di zaman kakek dan nenek kita dahulu? Saya yakin, jawabannya pasti lebih banyak saat ini. Padahal, zaman kakek-nenek kita itu masih zamannya perjodohan. Jadi, apakah pacaran menjamin kelanggengan hubungan suami-istri? Tidak Juga!
Seorang ustadz pernah bercerita, temannya berpacaran 7 tahun sebelum menikah. Tapi, kemudian bercerai 3 bulan setelah menikah…alasannya, karena istrinya tidak bisa tidur kalau tidak ditemani kucing dan lampu yang mati, sementara dia alergi kucing dan tidak bisa tidur kalau lampu terang. Kemudian, saya juga ingat bahwa ternyata pasangan suami-istri yang terlalu lama berpacaran sebelum menikah, lebih mudah merasakan kebosanan dalam hubungan rumah tangganya. Ini merupakan fakta yang pernah saya dengar dari paman seorang teman yang psikolog.
Berapapun lama pacaran, tidak menjamin kita untuk bisa lebih mengetahui segala hal tentang pasangan kita. Ketika memasuki gerbang rumah tangga, segalanya akan jauh berbeda dengan sebelum menikah. Ada detil-detil pasangan kita yang selama berpacaran “tersembunyi” atau “disembunyikan” yang kemudian muncul. Dalam banyak hal. Faktanya, dalam pacaran memang banyak hal yang sering ditutupi terhadap pasangannya. Meskipun tidak semua orang seperti itu.
Pada dasarnya, perasaan cinta, bisa ditumbuhkan. Terhadap siapapun. Bahkan orang yang menurut kita tidak menarik sama sekali. Tidak percaya? Saya pernah mengalaminya, meskipun kemudian pikiran tersebut saya buang jauh-jauh. Toh, kita pun sering menemukan kasus cinta pada pandangan pertama. Ego kita saja yang kemudian mengalahkan perasaan cinta tersebut. Karena, menurut kita, kurang cantik, kurang cerdas…dan kurang-kurang yang lainnya.
Pada kasus saya, saya awalnya mencoba untuk mempraktikan tips dari seorang ustadz agar kita bisa menumbuhkan rasa cinta terhadap seseorang. Katanya,”Pikirkan saja nama seseorang, setiap hari…meskipun awalnya tidak ada perasaan suka, lama-lama perasaan tersebut akan muncul juga”…lebih kurang redaksinya seperti itu. Saya pun, entah kenapa, penasaran dan saya coba juga. Awalnya, memang tidak ada perasaan apa-apa. Interaksi yang sering dan melihat hal-hal positif dari orang itu yang kemudian “memunculkan” rasa itu. Sampai kemudian, saya pun menyadari, bahwa ternyata, perasaan cinta, simpati atau empati memang bisa ditumbuhkan. Tergantung bagaimana kita mengolahnya dan kemauan kita untuk membuka hati kita. Itu saja sebetulnya. Hal lain adalah kesadaran bahwa setiap orang memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Orang lain pun ingin diperlakukan sebagaimana kita diperlakukan. Meskipun, pada kasus Lelaki dan Perempuan, berbeda cara perlakuan.
Kalau sudah begitu, saya kira, kita akan mudah untuk “jatuh cinta” kepada siapa pun.
Saya sering ngobrol dengan teman-teman yang menikah tanpa pacaran, bahkan dengan orang yang belum mereka kenal sebelumnya. Saya meminta mereka untuk bercerita tentang kesan-kesan pernikahan mereka. Ternyata, banyak hal menarik yang mereka ceritakan. Terutama, di malam pertama mereka. Heu heu heu…Kata mereka, “justru seninya adalah ketika kita berusaha untuk saling mengenal, meraba-raba perasaan pasangan kita, bagaimana kalau dia sedih, marah, senang, apa yang menyebabkan dia marah, sedih atau senang, ketika petama kali berpegangan tangan, ketika pertama kali mencium, atau pada saat sama-sama merasa malu ketika berduaan di dalam kamar, suasana hening yang tercipta karena sama-sama bingung memulai pembicaraan, sementara di kepala kita ada berjuta pertanyaan tentang pasangan kita, perasaan berdebar-debar, yang mungkin tidak dirasakan lagi oleh orang yang berpacaran, itu adalah perasaan yang sangat luar biasa bagi orang-orang yang belum pernah merasakan
semua itu”. Dan mereka melakukan itu pun, halal, tidak ada dosa. Perselisihan, pasti ada, bahkan bagi mereka yang berpacaran sekalipun. Tapi, semuanya bisa diatasi dengan saling pengertian.
Saya pun sering meminta mereka untuk berbicara tentang pasangan mereka, ada yang mengatakan, “istri saya sangat luar biasa, dia sangat sholeh..”, “istri saya sangat pengertian…”, “istri saya memang tidak cantik, tapi kebaikannya yang membuat saya semakin sayang…”…dan lain-lain.
Pada akhirnya, saya memang tidak setuju dengan dalih-dalih…
“Ini kan zaman modern, beda dengan zaman para nabi…”
“Masa di zaman seperti ini, masih ada juga yang dijodohin…”
Sebab…pada dasarnya, potensi manusia itu sama, sejak Nabi Adam diturunkan sampai nanti Kiamat pun, perangkatnya sama saja…dan kebutuhan kita pun sama saja…Ketenangan, Kebahagiaan, rasa Aman, Cinta, Kasih Sayang, Damai, Rasa Hormat…kalau kemudian kita hidup di zaman sekarang ini, tidak berarti bahwa kemudian kebutuhan kita berbeda dengan orang-orang di zaman para Nabi. Materi-materi dan kemajuan peradaban, hanya merupakan fasilitas saja, yang pada akhirnya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tadi.
Fenomena Nikah Tanpa Pacaran, memang masih bertahan di komunitas-komunitas Islam…PKS, HTI, LDK…atau di daerah-daerah. Tapi, tidak berarti bahwa Fenomena tersebut masuk kategori “Kampungan” atau “Primitif”. Menurut saya, malah Fenomena itu yang lebih “Modern”. Apalagi, belakangan, saya memang agak “muak” dengan hal-hal yang berbau pacaran dan cinta picisan yang menjadi kebanggaan di zaman sekarang ini. Kadang-kadang, cuma jadi bahan tertawaan saya. Pada akhirnya, saya menyadari bahwa aktivitas tersebut lebih banyak kesia-siaannya. Meskipun saya memang belum pernah berpacaran. Tapi, saya kira, saya tidak perlu pacaran untuk mengetahui sia-sia atau tidak, bukan begitu? Sama halnya seperti kita tidak perlu nyebur kalau cuma ingin tahu sungai itu dalam atau tidak, suruh aja orang lain, atau lihat orang lain yang udah nyebur.
Jadi, Nikah Tanpa Pacaran?? GAK TAKUT!!
pacaran islami?
Entah kenapa, Nikah tanpa Pacaran, menjadi sesuatu yang asing bagi kita saat ini. Padahal, kalau kita mau mengakui, jujur dan belajar dari sejarah, pacaran merupakan “produk” abad terakhir. Sebelumnya, pernikahan terlaksana melalui proses perjodohan, atau kalaupun tidak, ketika seorang lelaki menyukai seorang perempuan, dia langsung datang ke rumah perempuan itu untuk meminang. Wow, Gentleman, EUY! Dan proses pernikahan pun, tidak ribet, tidak berbelit-belit. Kalaupun ada proses pengenalan, tidak berlangsung terlalu lama biasanya.
Berbeda sekali dengan kebanyakan orang-orang saat ini.
“Kalau belum kenal kan, ngeri juga…”
“Emang kita hidup di zaman Firaun, pake nikah dijodoh-jodohin segala…”
“Udah nggak zaman lagi deh, nikah pake dijodohin…”
“Pacaran itu kan proses, supaya kita saling mengenal, supaya nggak nyesel dan salah pilih…”
Ya, kira-kira seperti itu lah beberapa argumen yang sempat masuk ke telinga saya, termasuk saya juga pernah berpikiran seperti itu.
Ada satu pertanyaan, mana yang lebih banyak, kasus perceraian saat ini, atau di zaman kakek dan nenek kita dahulu? Saya yakin, jawabannya pasti lebih banyak saat ini. Padahal, zaman kakek-nenek kita itu masih zamannya perjodohan. Jadi, apakah pacaran menjamin kelanggengan hubungan suami-istri? Tidak Juga!
Seorang ustadz pernah bercerita, temannya berpacaran 7 tahun sebelum menikah. Tapi, kemudian bercerai 3 bulan setelah menikah…alasannya, karena istrinya tidak bisa tidur kalau tidak ditemani kucing dan lampu yang mati, sementara dia alergi kucing dan tidak bisa tidur kalau lampu terang. Kemudian, saya juga ingat bahwa ternyata pasangan suami-istri yang terlalu lama berpacaran sebelum menikah, lebih mudah merasakan kebosanan dalam hubungan rumah tangganya. Ini merupakan fakta yang pernah saya dengar dari paman seorang teman yang psikolog.
Berapapun lama pacaran, tidak menjamin kita untuk bisa lebih mengetahui segala hal tentang pasangan kita. Ketika memasuki gerbang rumah tangga, segalanya akan jauh berbeda dengan sebelum menikah. Ada detil-detil pasangan kita yang selama berpacaran “tersembunyi” atau “disembunyikan” yang kemudian muncul. Dalam banyak hal. Faktanya, dalam pacaran memang banyak hal yang sering ditutupi terhadap pasangannya. Meskipun tidak semua orang seperti itu.
Pada dasarnya, perasaan cinta, bisa ditumbuhkan. Terhadap siapapun. Bahkan orang yang menurut kita tidak menarik sama sekali. Tidak percaya? Saya pernah mengalaminya, meskipun kemudian pikiran tersebut saya buang jauh-jauh. Toh, kita pun sering menemukan kasus cinta pada pandangan pertama. Ego kita saja yang kemudian mengalahkan perasaan cinta tersebut. Karena, menurut kita, kurang cantik, kurang cerdas…dan kurang-kurang yang lainnya.
Pada kasus saya, saya awalnya mencoba untuk mempraktikan tips dari seorang ustadz agar kita bisa menumbuhkan rasa cinta terhadap seseorang. Katanya,”Pikirkan saja nama seseorang, setiap hari…meskipun awalnya tidak ada perasaan suka, lama-lama perasaan tersebut akan muncul juga”…lebih kurang redaksinya seperti itu. Saya pun, entah kenapa, penasaran dan saya coba juga. Awalnya, memang tidak ada perasaan apa-apa. Interaksi yang sering dan melihat hal-hal positif dari orang itu yang kemudian “memunculkan” rasa itu. Sampai kemudian, saya pun menyadari, bahwa ternyata, perasaan cinta, simpati atau empati memang bisa ditumbuhkan. Tergantung bagaimana kita mengolahnya dan kemauan kita untuk membuka hati kita. Itu saja sebetulnya. Hal lain adalah kesadaran bahwa setiap orang memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Orang lain pun ingin diperlakukan sebagaimana kita diperlakukan. Meskipun, pada kasus Lelaki dan Perempuan, berbeda cara perlakuan.
Kalau sudah begitu, saya kira, kita akan mudah untuk “jatuh cinta” kepada siapa pun.
Saya sering ngobrol dengan teman-teman yang menikah tanpa pacaran, bahkan dengan orang yang belum mereka kenal sebelumnya. Saya meminta mereka untuk bercerita tentang kesan-kesan pernikahan mereka. Ternyata, banyak hal menarik yang mereka ceritakan. Terutama, di malam pertama mereka. Heu heu heu…Kata mereka, “justru seninya adalah ketika kita berusaha untuk saling mengenal, meraba-raba perasaan pasangan kita, bagaimana kalau dia sedih, marah, senang, apa yang menyebabkan dia marah, sedih atau senang, ketika petama kali berpegangan tangan, ketika pertama kali mencium, atau pada saat sama-sama merasa malu ketika berduaan di dalam kamar, suasana hening yang tercipta karena sama-sama bingung memulai pembicaraan, sementara di kepala kita ada berjuta pertanyaan tentang pasangan kita, perasaan berdebar-debar, yang mungkin tidak dirasakan lagi oleh orang yang berpacaran, itu adalah perasaan yang sangat luar biasa bagi orang-orang yang belum pernah merasakan
semua itu”. Dan mereka melakukan itu pun, halal, tidak ada dosa. Perselisihan, pasti ada, bahkan bagi mereka yang berpacaran sekalipun. Tapi, semuanya bisa diatasi dengan saling pengertian.
Saya pun sering meminta mereka untuk berbicara tentang pasangan mereka, ada yang mengatakan, “istri saya sangat luar biasa, dia sangat sholeh..”, “istri saya sangat pengertian…”, “istri saya memang tidak cantik, tapi kebaikannya yang membuat saya semakin sayang…”…dan lain-lain.
Pada akhirnya, saya memang tidak setuju dengan dalih-dalih…
“Ini kan zaman modern, beda dengan zaman para nabi…”
“Masa di zaman seperti ini, masih ada juga yang dijodohin…”
Sebab…pada dasarnya, potensi manusia itu sama, sejak Nabi Adam diturunkan sampai nanti Kiamat pun, perangkatnya sama saja…dan kebutuhan kita pun sama saja…Ketenangan, Kebahagiaan, rasa Aman, Cinta, Kasih Sayang, Damai, Rasa Hormat…kalau kemudian kita hidup di zaman sekarang ini, tidak berarti bahwa kemudian kebutuhan kita berbeda dengan orang-orang di zaman para Nabi. Materi-materi dan kemajuan peradaban, hanya merupakan fasilitas saja, yang pada akhirnya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tadi.
Fenomena Nikah Tanpa Pacaran, memang masih bertahan di komunitas-komunitas Islam…PKS, HTI, LDK…atau di daerah-daerah. Tapi, tidak berarti bahwa Fenomena tersebut masuk kategori “Kampungan” atau “Primitif”. Menurut saya, malah Fenomena itu yang lebih “Modern”. Apalagi, belakangan, saya memang agak “muak” dengan hal-hal yang berbau pacaran dan cinta picisan yang menjadi kebanggaan di zaman sekarang ini. Kadang-kadang, cuma jadi bahan tertawaan saya. Pada akhirnya, saya menyadari bahwa aktivitas tersebut lebih banyak kesia-siaannya. Meskipun saya memang belum pernah berpacaran. Tapi, saya kira, saya tidak perlu pacaran untuk mengetahui sia-sia atau tidak, bukan begitu? Sama halnya seperti kita tidak perlu nyebur kalau cuma ingin tahu sungai itu dalam atau tidak, suruh aja orang lain, atau lihat orang lain yang udah nyebur.
Jadi, Nikah Tanpa Pacaran?? GAK TAKUT!!
0 Komentar
Penulisan markup di komentar