Akhlak yang baik merupakan sifat pemimpin para Rasul
dan amal para Shiddiqin yang paling utama, dan berdasarkan penelitian, bahwa
akhlak yang baik termasuk separuh agama, buah kesungguhan orang-orang yang
bertakwa, dan tamannya para ahli ibadah. Sedangkan akhlak buruk itu racun yang
mematikan, pemusnah yang sangat berbahaya, pembuka aib dan kehinaan yang nyata,
serta kejelekan yang menjauhkan dari pertolongan Allah. Akhlak jelek itu
membawa pemiliknya kepada prilaku setan yang merupakan pintu yang terbuka
menuju api neraka yang menyala, yang membakar sampai ke hati, sedangkan akhlak
baik itu bagaikan pintu-pintu yang terbuka menuju nikmatnya surga dan
pertolongan Allah Yang Maha Pengasih.
Para ulama telah berbeda dalam mendefinisikan akhlak
baik, Ali berkata, “Akhlak yang baik itu ada pada tiga sifat: menjauhi yang
diharamkan, mencari yang halal dan berbuat baik kepada keluarga.”
Al-Hasan berkata, “Akhlak baik itu adalah dermawan,
suka berkorban dan bertanggung jawab.” Dan dia berkata, “Akhlak baik adalah:
wajah yang menyenangkan, mencurahkan kebaikan dan mencegah keburukan.”
Ahmad berkata, “Akhlak baik itu adalah, engkau tidak
marah dan tidak dengki.”
Apabila bentuk dan sifat yang ada pada jiwa itu
melahirkan pekerjaan-pekerjaan yang baik dan terpu ji secara akal dan syar’i,
maka bentuk dan sifat itu disebut akhlak yang baik, akan tetapi apabila yang
lahir dari bentuk dan sifat yang ada pada jiwa tersebut adalah
pekerjaan-pekerjaan yang buruk, maka bentuk dan sifat itu disebut akhlak yang
buruk.
Akhlak itu ada dua bagian: Jibiliyah dan Muktasabah. Jibiliyah adalah apa yang Allah ciptakan pada
manusia, sedangkan Muktasabah adalah apa yang dicari dan didapatkan
oleh manusia itu sendiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
“Sesungguhnya ilmu itu dengan belajar, dan
sesungguhnya kemurahan hati itu dengan bermurah hati.”
Sebenarnya pada diri orang-orang Arab dahulu sudah
terdapat akhlak yang baik dan akhlak yang buruk, maka Allah Subhanahu wata’ala
mengutus Rasulullah, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyempurnakan
akhlak yang baik dan untuk memperbaiki akhlak yang buruk, sebagaimana sabda
beliau,
“Sesungguhnya aku diutus, hanya untuk menyempurnakan
akhlak yang baik.”
Pengkaji ibadah melihat, bahwa semua ibadah membentuk sebuah lingkungan yang
mewujudkan tujuan ini, Allah berfirman,
“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(per-buatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Al-Ankabut: 45).
“Sesungguhnya manusia diciptakan
bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh
kesah, dan apabila ia men-dapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang-orang
yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya. Dan
orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin)
yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).”
(Al-Ma’arij: 19-25).
Dari Abu Hurairah, dia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
“Puasa itu benteng, apabila datang hari puasa salah
seorang dari ka-lian, maka janganlah dia berkata keji dan meneriakkan
permusuhan, dan apabila seseorang mencacinya atau memusuhinya, maka hen-daklah
dia berkata,‘Sesungguhnya aku adalah orang yang sedang berpuasa‘.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
“Barangsiapa yang mengerjakan haji kemudian tidak
berkata keji dan fasik, maka dia kembali (bersih dari dosa) sebagaimana ketika
dilahirkan oleh ibunya.”
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa keshalihan akhlak
merupakan tanda keshalihan ibadah, dan kerusakan akhlak menun-jukkan kerusakan
ibadah.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar